SEMARANG, Paragrafnews.com: Menurut Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, ada 2 prinsip penting yang mengatur semua penggunaan kekuatan dalam pengaturan penegakan hukum: Kebutuhan dan Proporsionalitas.
Meskipun istilah – istilah ini telah digunakan dalam konteks “Jus Ad Bellum” dan Hukum Humaniter Internasional, maknanya yang tepat dalam konteks hukum hak asasi manusia sangat berbeda. Seperti yang dinyatakan Alston: “Sebuah pembantaian yang dilakukan oleh negara adalah sah hanya jika diperlukan untuk melindungi kehidupan (menjadikan kekuatan mematikan dipandang proporsional) dan tidak ada cara lain, seperti menangkap atau penghancuran kekuatan tak mematikan, dalam mencegah ancaman terhadap kehidupan (membuat kekuatan mematikan sebagai hal yang diperlukan).”
Persyaratan selanjutnya adalah bahwa ancaman terhadap kehidupan dimana penggunaan kekuatan mematikan itu sebagai upaya pencegahan yang harus dilakukan dengan segera.
Demikian, dalam pendekatannya pada pengaturan penggunaan kekuatan mematikan dengan sengaja, hukum hak asasi manusia internasional secara umum menerima standar yang ditetapkan dalam Prinsip-Prinsip Dasar tahun 1990 tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum (Prinsip Dasar).
Menurut kalimat terakhir dari Prinsip Dasar 9: “Dalam hal apapun, penggunaan dengan sengaja terhadap senjata api mematikan hanya dapat dilakukan jika benar-benar tidak dapat dihindari dalam rangka untuk melindungi hidup”.
Bagaimanapun posisi umum ini tunduk pada 2 peringatan. Pertama, Prinsip-prinsip Dasar tidak dirancang untuk mengatur tindakan oleh angkatan bersenjata dalam situasi konflik bersenjata, yang tetap berada di bawah lingkup “Jus In Bello”.
Kedua, permulaan penggunaan kekuatan mematikan yang disengaja telah ditetapkan dengan tidak terlalu banyak pembatasan oleh domestik yurisprudensi AS (berkaitan dengan kekuasaan aparat), dan juga ditafsirkan lebih permisif oleh Komisi Inter-Amerika tentang Hak Asasi Manusia (sehubungan dengan operasi kontraterorisme).
Negara-negara lain, termasuk Australia dan Inggris, mendukung standar yang lebih tinggi sebagaimana diatur dalam Prinsip Dasar.
Misalnya, Inggris memiliki kebijakan “tembak untuk membunuh” pada tersangka pembom bunuh diri, karena pembom bunuh diri tidak hanya mengancam kematian, tetapi juga kemungkinan untuk memenuhi kriteria nyata yang merupakan bagian integral yang menyertai tingkat ancaman. (**).
Penulis :
DANNY GAIDA TERA ELGAR, S.H. (Cand. M.H.) — Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang.