Paragrafnews.com: Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mendorong Aparat Penegak Hukum (APH) angkat bicara soal kasus pemerkosaan yang dilakukan seorang ayah terhadap lima anak kandung dan dua cucu kandung di Ambon, Maluku.
Bintang, mendorong agar APH tidak memiliki keraguan untuk menuntaskan kasus tersebut sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 dengan hukuman maksimal.
Menteri PPPA juga meminta penanganan kasus tersebut dilakukan seadil-adilnya dengan memperhatikan kepentingan korban.
“Kasus pemerkosaan yang dilakukan seorang ayah terhadap anak dan cucu kandungnya, yang seharusnya menjadi pelindung dalam keluarga, merupakan perbuatan yang sangat keji. Tidak ada toleransi apapun terhadap segala tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh siapapun, terlebih seorang ayah,” tegas Menteri PPPA, dalam keterangan pers, Minggu (19/6).
Dalam kaitan penanganan hukum, Menteri menegaskan pelaku harus dihukum maksimal mengingat korbannya banyak dan mereka adalah anak dan cucu kandungnya sendiri. Tindakan hukum yang berat atas kasus kekerasan seksual sangat diperlukan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan orang lain.
“Saya harap pelakunya dihukum berat karena menurut keterangan saksi di kepolisian, pelakunya masih mengulang perbuatannya meski telah terungkap dan diketahui oleh ibu korban,” ujar Menteri PPPA.
Menteri PPPA mengatakan pihaknya melalui Tim SAPA 129 berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Maluku dan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Masyarakat dan Desa (DP3AMD) Kota Ambon untuk mengawal pendampingan korban dan memastikan ketujuh korban mendapatkan layanan pemulihan trauma.
Kasus ini sedang ditangani oleh Polres Kota Ambon dan terduga pelakunya telah mengakui perbuatannya dan kini ditahan oleh polisi.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar mengatakan perbuatan pelaku dapat diancam dengan Pasal 76D UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 81 ayat (1), (2), (3), (5), (6) dan (7) UU Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Perlindungan Anak.
Mengingat korbannya lebih dari satu orang, pada Perpu Nomor 1 Tahun 2016 pasal 81 ayat (5) menyatakan pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Selain itu, pada pasal 81 ayat (6) dan (7), pelaku dapat dikenai pidana tambahan pengumuman identitas pelaku, tindakan kebiri kimia dan tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Nahar mengatakan berdasarkan laporan dari UPTD PPA Maluku, pelaku (RH) telah melakukan pemerkosaan terhadap anaknya dalam rentang waktu yang lama, mulai dari anak pertama hingga anak kelima. Perbuatannya sempat diketahui ibu korban ketika pemerkosaan masih dilakukan kepada anak pertamanya pada saat kelas VI SD hingga SMP. Namun, ibu korban memaafkan pelaku dan tidak melaporkan tindakan kejahatan itu kepada polisi. Kini korban yang merupakan anak pertama telah berusia 27 tahun dan memiliki dua anak.
“Ternyata pelaku tidak bertobat bahkan melakukan perbuatan kejinya juga kepada seluruh anaknya dan juga kepada dua cucu dari anak pertamanya, yang masih berusia lima dan enam tahun,” kata Nahar.
Perbuatan itu dilakukan dengan alasan agar anak tidak mengalami kesakitan ketika malam pertama dan mengancam korban untuk tidak memberitahukan orang lain. Kejahatan RH terbongkar ketika salah satu cucu yang diperkosa mengami sakit pada kemaluannya. Pada akhirnya sang cucu mengakui pada ibunya atas pemerkosaan yang dialami. Perbuatan RH kemudian dilaporkan ke polisi oleh ibunya, yang juga anak pertama yang pernah diperkosa oleh ayah kandungnya.
Nahar meminta orang tua yang mengetahui anaknya menjadi korban kekerasan seksual agar melaporkan kepada pihak yang berwajib. Orang tua harus diberikan pemahaman bahwa dengan melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialami oleh anaknya, maka akan ada bantuan dari berbagai pihak untuk memastikan anak tersebut dipenuhi hak-haknya.
Kalau tidak lapor, katanya, hal ini bisa mengakibatkan hal buruk lainnya, maka keberanian ini yang harus sama-sama didorong, sehingga siapapun yang melihat, mendengar bahkan mengalami sendiri untuk berani melapor.
KemenPPPA mendorong masyarakat yang mengalami atau mengetahui kasus kekerasan seksual segera melaporkannya kepada SAPA129 KemenPPPA melalui hotline 129 atau WhatsApp 08111-129-129 atau melaporkan ke polisi setempat. Hal itu untuk mencegah berulangnya kasus tersebut.
red/kaje
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
sumber:kemenpppa.go.id