Oleh : Muhammad Iqbal, SH, MH (Konsultan Hukum & Advokat MIQ Law Firm)
Opini – Menjelang Pilkada 2024, isu kepastian hukum dan keadilan dalam penyelenggaraan pemilu menjadi semakin penting, terutama ketika terjadi sengketa hasil pemilihan. Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yang berwenang untuk memutus perselisihan hasil pemilu, termasuk Pilkada, akan berperan sentral dalam menentukan validitas hasil pemilu. Dalam situasi seperti ini, putusan MK diharapkan dapat memberikan kejelasan dan memastikan bahwa proses demokrasi berjalan sesuai dengan konstitusi.
Namun, di sisi lain, pendapat ahli hukum juga sering menjadi rujukan dalam memecahkan berbagai permasalahan hukum terkait pemilu. Pendapat ahli hukum, atau doktrin, meskipun tidak mengikat secara hukum, kerap digunakan oleh berbagai pihak sebagai panduan dalam memahami isu-isu hukum yang kompleks. Maka, penting untuk membahas kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi jika dibandingkan dengan pendapat ahli hukum dalam konteks Pilkada 2024.
Saya ingin mengulas perbandingan antara kekuatan hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi dan pengaruh pendapat ahli hukum dalam proses penyelesaian sengketa pemilu, serta dampaknya terhadap kepastian hukum menjelang Pilkada 2024.
Dalam sistem hukum Indonesia, terdapat dua sumber penafsiran hukum yang sering menjadi acuan, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan pendapat ahli hukum (doktrin). Keduanya memainkan peran penting dalam proses pembentukan dan pengembangan hukum, namun memiliki kedudukan yang berbeda secara hukum. Sementara putusan MK merupakan keputusan resmi yang diambil oleh lembaga konstitusional tertinggi, pendapat ahli hukum adalah tafsiran akademis yang digunakan untuk memperkaya pemahaman hukum. Maka, mari kita bahas kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi jika dibandingkan dengan pendapat ahli hukum.
Kedudukan Putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi memiliki otoritas konstitusional dalam menafsirkan dan memutuskan konstitusionalitas undang-undang dan sengketa hasil pemilu. Berikut adalah beberapa karakteristik utama yang menentukan kedudukan putusan MK:
1. Sifat Final dan Mengikat
Menurut Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, putusan MK bersifat final dan mengikat. Ini berarti, putusan MK tidak dapat diajukan banding atau ditinjau kembali oleh lembaga hukum manapun. Semua pihak, baik lembaga negara maupun masyarakat, wajib mematuhi dan melaksanakan putusan MK. Dalam hal ini, putusan MK memiliki otoritas tertinggi dalam penafsiran konstitusi.
2. Menentukan Hukum Positif
Ketika MK memutuskan bahwa suatu norma undang-undang tidak sesuai dengan UUD 1945, norma tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi (inkonstitusional). Ini memberikan putusan MK kekuatan konstitutif yang merubah hukum positif. Putusan MK tidak hanya mengikat pada pihak- pihak yang berperkara, tetapi juga memiliki pengaruh luas dalam sistem hukum nasional.
3. Mengikat Lembaga Negara
Selain mengikat semua warga negara, putusan MK juga mengikat lembaga-lembaga negara, termasuk Presiden, DPR, dan lembaga yudikatif lainnya. Lembaga-lembaga ini wajib tunduk pada hasil putusan MK, menjadikan putusan ini sebagai bagian integral dari mekanisme check and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Kedudukan Pendapat Ahli Hukum (Doktrin)
Lantas Bagaimana dengan pendpat ahli. Pendapat ahli hukum, sering disebut doktrin, merupakan pandangan atau analisis hukum yang dikemukakan oleh para pakar di bidang hukum. Kedudukan doktrin dalam sistem hukum memiliki karakteristik berikut:
1. Bersifat Konsultatif
Pendapat ahli hukum tidak mengikat secara hukum. Doktrin digunakan oleh hakim, pembuat kebijakan, atau pengacara sebagai referensi atau acuan dalam menafsirkan suatu aturan hukum. Namun, meskipun berpengaruh dalam pengambilan keputusan, doktrin tidak memiliki kekuatan hukum yang memaksa.
2. Berperan dalam Pengembangan Hukum
Doktrin memainkan peran penting dalam memperkaya pemahaman dan pengembangan teori hukum. Banyak undang-undang atau keputusan pengadilan yang diambil dengan mempertimbangkan pendapat ahli hukum, namun keputusan akhir tetap berada pada lembaga yudikatif seperti pengadilan. Pendapat ahli hukum juga sering dikutip dalam pertimbangan hakim, namun tidak menentukan secara mutlak hasil putusan.
3. Dapat Berbeda-beda
Pendapat ahli hukum sering kali berbeda satu sama lain. Dalam suatu kasus, mungkin terdapat beberapa pandangan yang berseberangan. Oleh karena itu, hakim atau pihak berwenang lainnya harus secara kritis memilih pendapat mana yang lebih relevan atau sesuai dengan kasus yang dihadapi. Ini menjadikan doktrin sebagai sumber hukum yang bersifat fleksibel dan tidak mengikat.
Perbandingan Putusan MK dengan Pendapat Ahli Hukum
Maka jika memperbandingkan atau masuk ke ruang bias Dimana terkadang pendapat ahli dijadikan dasar hukum baru dalam mengambil subuah kebijakan perlu kita telaah Kembali satu per satu.
1. Kekuatan Hukum
Putusan MK memiliki kekuatan hukum mengikat dan bersifat final. Sebaliknya, pendapat ahli hukum hanyalah pandangan akademis yang tidak memiliki kekuatan hukum formal. Sementara putusan MK langsung mempengaruhi keberlakuan suatu norma hukum, pendapat ahli hukum hanya bersifat membantu hakim atau pembuat undang-undang dalam memahami isu hukum.
2. Otoritas Penegakan
Putusan MK memiliki otoritas konstitusional yang wajib dilaksanakan oleh lembaga negara, sedangkan pendapat ahli hukum tidak memiliki otoritas yang sama. Ketidakpatuhan terhadap putusan MK dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap konstitusi, sementara ketidaksetujuan terhadap pendapat ahli hukum tidak memiliki konsekuensi hukum langsung.
3. Fungsi dalam Penafsiran Hukum
Putusan MK berfungsi sebagai penafsiran akhir dan resmi terhadap konstitusi. Dalam sengketa hukum atau ketidakpastian interpretasi undang-undang, putusan MK adalah kata terakhir. Sementara itu, pendapat ahli hukum memberikan perspektif tambahan dan berbagai sudut pandang untuk membantu memperjelas atau memperluas tafsiran hukum.
4. Sumber Hukum
Putusan MK termasuk dalam sumber hukum formil, karena langsung berpengaruh pada aturan hukum yang berlaku. Sebaliknya, doktrin adalah sumber hukum material yang hanya mempengaruhi pembentukan hukum secara tidak langsung.
Sebagai Kesimpulan saya ingin sampaikan bahwa kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi jauh lebih tinggi dan mengikat secara hukum dibandingkan dengan pendapat ahli hukum. Putusan MK bersifat final, mengikat, dan memiliki otoritas dalam sistem hukum ketatanegaraan, sedangkan pendapat ahli hukum, meskipun penting untuk pengembangan hukum, hanya bersifat konsultatif dan tidak mengikat. Oleh karena itu, dalam konteks perdebatan hukum, putusan MK harus selalu diutamakan dan dihormati, karena ia merupakan produk dari lembaga konstitusi yang berfungsi menjaga supremasi hukum dan keadilan di Indonesia. (*)