PWI AJI gelar diskusiDua organisasi pers yakni, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kaltim dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda, menyelenggarakan diskusi bertajuk Jurnalis Serang Jurnalis, Bagaimana Hukumnya ?
Narasumbernya adalah dua ahli pers dewan pers di Kaltim yaitu Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kaltim Endro S Effendi dan Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda Edwin Agustyan.
Moderatornya, adalah Wakil Ketua Bidang Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kaltim, Felanans Mustari, membuka diskusi dengan memaparkan fenomena terkini kebebasan pers di Bumi Etam, yaitu serangan personal kepada jurnalis yang menjalankan kerja jurnalistik.
Selain mengancam kemerdekaan pers, peristiwa tersebut dianggap dapat membunuh karakter jurnalis yang bersangkutan. Yang bikin aneh, pelaku diduga juga bekerja sebagai jurnalis. Pasalnya, ‘serangan’ dilakukan berjamaah oleh sejumlah media siber lokal.
“Dimana-mana ancaman doxing itu dari luar seperti yang dialami wartawan Tempo dan Tirto.id. Lah, ini, kok bisa jurnalis sendiri ? Bagaimana persoalan etiknya ? Ini yang mau kita diskusikan hari ini,” jelasnya mengawali diskusi. Jumat (24/6).
Ahli Pers Dewan Pers dari AJI Samarinda, Edwin Agustyan, mengaku menyayangkan peristiwa itu. Kasus itu juga sudah didengar sampai kota tetangga. Menurutnya, persoalan pemberitaan seharusnya diselesaikan lewat jalur Dewan Pers. Pemberitaan mengenai persoalan pribadi seseorang, tidak dapat dibenarkan secara Kode Etik Jurnalistik.
Edwin menilai pemberitaan melanggar setidaknya pasal 2 dalam Kode Etik Jurnalisitk. Adapun isi dari pasal 2 adalah, “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”.
Edwin menjelaskan pelanggaran pada pasal tersebut dapat disimpulkan karena sejumlah hal. Misalnya, motivasi ditulisnya berita tersebut, proses konfirmasi yang bias, hingga lemahnya pemilihan narasumber.
Misalnya menggunakan rujukan potongan komentar netizen di media siber.
“Narasumber itu (akun sosial media) tidak bisa dijamin validitasnya. Dia siapa ? Kok bisa ngomog begitu ?” ungkapnya.
Adapun narasumber kedua, Ketua PWI Kaltim, sekaligus ahli pers, Endro Effendi, menilai tindakan menyerang personal jurnalis, bakal melanggar pasal 1 KEJ. Pasal tersebut berbunyi “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”.
Hal tersebut dapat dinilai dari pemilihan bahasa yang digunakan sejumlah media itu. Pemberitaan yang dikeluarkan dapat diduga bersifat tendesius
“Di awal, kan niatnya dulu. Makanya pasal 1. Jadi bisa dicek di ahli forensik bahasa. Mengapa berita menulis hal seperti itu ?” bebernya.
Sementara Edwin, menilai kejadian tersebut adalah kritik bagi seluruh insan pers Kaltim. Organisasi pers dan perusahaan bisa mendorong pelatihan-pelatihan kode etik. Serta memperhatikan produk jurnalistik yang dihasilkan. Menurutnya, Jurnalisme seharusnya menjadi watchdog atau anjing penjaga kepentingan publik.
“Bukan anjing penguasa yang suka menggigit pengkritik,” pungkasnya. (**)